Ahad, 17 Oktober 2004 - 05:14:36 :: kategori Fiqh
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
.: :.
Menjelang Bulan Ramadhan
1. Menghitung hari bulan Sya’ban
Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Puasalah kalian karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin Hatim Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed]
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda : “Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim.” (Yaitu, hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed). (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Menjelang Bulan Ramadhan", penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia )
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
.: :.
Menjelang Bulan Ramadhan
1. Menghitung hari bulan Sya’ban
Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Puasalah kalian karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin Hatim Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed]
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda : “Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim.” (Yaitu, hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed). (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Menjelang Bulan Ramadhan", penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia )
Comments :
Posting Komentar