“Semua mengaku telah meraih tangan Laila
tapi Laila tidak mengakui yang demikian itu.”
Tragis memang, di masa kontemporer ini semakirn merebak fenomena perpecahan ummat Islam. Entah siapa yang mesti kita benarkan dan salahkan? Semuanya memiliki jawaban “manis” untuk mempertahankan argumentasinya. Tapi apakah jawaban manis itu diakui keabsahannya?
Katakanlah banyaknya kasus terorisme, bom bali pada 12 Oktober 2002 di Legian Bali, bom pada tanggal 5 Agustus 2003 di Hotel JW Marriott, dll yang -gosipnya- tertuju pada masyarakat Islam. Benarkah demikian? Bahwa Islam yang dinyatakan sebagai agama rahamatallil ‘alamin sebagai pemicu kericuhan di tengah manusia? Salahkah jika sekiranya kita melakukan penelulusan apa sebenarnya faktor “perangsang” terjadinya fenomena ini?
Mari kita “flash back” apa itu Islam tidak sempurnya?
Jawaban pasti, Islam adalah agama yang sempurnya, Allah berfirman, artinya:
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian." (Al Maidah : 3)
Nah, berbicara tentang Islam, maka tentu kita akan kembali kepada sejarah munculnya agama sempurna ini.
Toh, kita akan bersatu bahwa Islam “ditenteng” oleh sang pelopor yaitu Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa sallam. Setelah Nabi mulia ini diberi amanah oleh Allah Subhana Wa Ta’ala tentu mendapatkan mandat agar disampaikan kepada umat manusia.
Umat manusia di zaman Rasulullah disebut sebagai sahabat Rasul, seperti para Khalifah Rasyidin: Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Dan masih banyak dari sahabat-sahabat Nabi yang mendapatkan ajaran Islam. Nah, setelah para sahabat Nabi meninggal, maka datanglah generasi yang baru disebut sebagai tabi’in (murid-murid para sahabat). Kemudian, ketika tabi’in meninggal, maka datang lagi generasi pelanjut disebut tabi'ut tabi'in (murid-murid para Tabi’in).
Mereka inilah penegak adanya Islam hingga sampai ke kita. Tiga generasi yang memperjuangkan Islam ke seluruh pelosok dunia. Dan penyebutan bahasa arab bagi pendahulu-pendahulu itu disebut sebagai “salaf.”
Semua generasi tersebut telah mendapat pengakuan dari Rasulullah.
Rasulullah Shallallahu 'alahi wa alihi wa sallam menyatakan:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat) kemudian generasi setelahnya (tabi’in) kemudian generasi setelahnya (tabi’ut tabi’in)”. (Al-Hadits)
Dan perlu diketahui, ketika Rasulullah telah mengakui peran dan “pedoman” para salaf, maka sewajib-wajibnya kita melakukan aktivitas berdasarkan contoh panutan tersebut. Yakin dan percaya –insya Alloh- kita akan selamat.
Allah telah menjamin dalam firmannya, arinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Jelas sekali bahwa orang-orang yang pertama masuk Islam tentunya para sahabat. Mereka adalah salaf. Oleh karena itu, kembali merujuk kepada sumber Islam, kembali berkaca pada tindak-tanduk panutan, maka itu sumber kemenangan.
Dan sangat mudah kita melacak fenomena-fenomena rancu yang terjadi pada masyarakat. Kegelisahan dalam mengambil keputusan syari’at pun demikian sangat mudah. Tinggal bagaimana kita “mencocokkan” apakah fenomena dan keputusan itu selaras dengan pemikiran para salaf kita.
Ambil contoh kasus pengeboman. Imam Samudra dan orang-orang yang melakukan tindakan yang sama sepertinya, mereka menghancurkan dan melukai diri mereka dengan memasang bom di tubuh, dengan bom mobil, atau cara lainnya. Apakah itu berasal dari Islam? Ataukan hanya Islam berlogo “salah”?
Pertama, melihat gerak-gerik mereka ternyata sumbernya adalah mereka menjastifikasi yang dibom yakni orang kafir, maka berhak dibom, musuh-musuh Islam.
Baik, pendapat yang -logis- bagi akal yang kaku. Tapi ketahuilah bahwa kafir di Indonesia itu jenisnya adalah kafir musta’man. Artinya yaitu orang di luar Islam yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh.
Dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu (salaf), Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan:
“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. (HR. Bukhari-Muslim).
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah: “Yang diinginkan dengan dzimmah di sini adalah aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam amannya".
Oleh karena itu, tidak benar bahkan yang tepatnya salah bagi mereka pelaku bom-bom tanpa mengikuti jejak pemahaman para salaf. Andaikata mereka Islam “benar”, maka tidak mungkin bahkan mustahil akan melakukan aktivitas bodoh ini.
Sungguh, solusi terbaik dari kerancuan-kerancuan pemikiran adalah dengan berbaliknya kita kepada sumber pembawa Islam, yaitu para salaf. Kebenaran akan diterangkan oleh para pendahulu kita dan kesalahan pun akan diterangkan olehnya sepanjang kita masih mau melirik pemahaman mereka. Sehingga dengan maraknya perpecahan akan bisa tersolusikan, insya Allah kita akan kembali ke masa kejayaan, dan tidak menjadi Islam yang salah!
Comments :
Posting Komentar